Potensi Seni dan Budaya di Kapanewon Imogiri

Kapanewon Imogiri telah ditetapkan sebagai gerbang budaya oleh Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X sejak tahun 2007. Pada saat pencanangan Imogiri sebagai gerbang budaya, Sri Sultan juga menandatangani duaja yang terbuat dari kain berlatar warna hitam. Duaja ini setiap tahunnya akan diikutkan dalam kirab budaya di Imogiri. Dan sebagai gerbang budaya di Kabupaten Bantul, Kapanewon Imogiri memiliki banyak potensi seni dan budaya, yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

Potensi Kesenian

  1. Karawitan, terdapat di Kalurahan Wukirsari, Girirejo, Selopamioro dan Kebonagung. Organisasi yang tertua adalah Madya Laras terdapat di Kalurahan Wukirsari, yang berdiri pada tahun 1986.
  2. Kethoprak, terdapat di Kalurahan Wukirsari,  Sriharjo, Girirejo, Kebonagung dan  Selopamioro. Organisasi yang tertua adalah Mudha Santosa terdapat di Kalurahan Selopamioro, yang berdiri pada tahun 1968. 
  3. Jatilan, terdapat di Kalurahan Selopamioro, Girirejo, Kebonagung, Karangtengah dan Sriharjo. Organisasi yang tertua adalah Turangga Seta terdapat di Kalurahan Girirejo, yang berdiri pada tahun 1970. 
  4. Keroncong, terdapat di Kalurahan Girirejo. Organisasinya bernama Puspita Giri, yang berdiri pada tahun 1999. 
  5. Shalawatan,terdapat di Kalurahan Karangtalun,  Wukirsari,  Kebonagung, Desa Selopamioro, Karangtengah, dan  Sriharjo. Organisasi yang tertua adalah Sedyo Rukun terdapat di Kalurahan Karangtalun, yang berdiri pada tahun 1968. 
  6. Laras Madya, terdapat di Kalurahan Imogiri dan Karangtengah. Organisasi yang tertua adalah Krido Budoyo terdapat di Kalurahan Karangtengah, yang berdiri pada tahun 1970.
  7. Srandul, terdapat di Kalurahan Wukirsari dan Karangtengah. Organisasi yang tertua adalah Mudho Palupi terdapat di Kalurahan Wukirsari, berdiri pada tahun 1984.

 

Potensi Budaya, berupa upacara/kegiatan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat di Kapanewon Imogiri 

  • Kirab siwur

Salah satu dari tradisi budaya di Imogiri yakni Kirab Siwur yang merupakan salah satu rangkaian dari Upacara Nguras Enceh. Kirab Siwur merupakan agenda setiap tahun di Kapanewon Imogiri. Kirab Siwur pertama kali diselenggarakan pada tahun 1999 dan pada tahun 2020-2021 tidak diselenggarakan dikarenakan adanya pandemi Covid-19 yang mewajibkan untuk tidak berkerumun, kemudian acara yang menjadi agenda rutin di Kapanewon Imogiri ini dilanjutkan kembali pada tahun 2022 yang merupakan Kirab Siwur yang ke-21 kali.

Dalam kegiatan kirab siwur, terdapat 4 prosesi, diawali yang pertama, prosesi upacara dan pelepasan kirab yang dilangsungkan di Pendopo Kapanewon Imogiri, kemudian dilanjutkan dengan prosesi kedua pengambilan siwur (gayung) milik Bupati Juru Kunci Surakarta dan prosesi ketiga pengambilan siwur (gayung) milik Bupati Juru Kunci Puralaya/ Yogyakarta. Keempat, prosesi serah terima siwur di Makam Raja-Raja Imogiri. 

Prosesi kirab siwur diikuti oleh barisan bregodo dari Abdi Dalem Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Abdi Dalem Kasunanan Kraton Surakarta Hadiningrat, bregodo keprajuritan dari 8 Kalurahan se-Kapanewon Imogiri dan bregodo masyarakat Kapanewon Imogiri. Masing-masing bregodo yang berasal dari Kalurahan juga membawa gunungan hasil bumi yang akan diperebutkan untuk masyarakat di kompleks terminal Makam Raja- Raja Mataram Imogiri.

 

  • Nguras Enceh

Menurut sejarahnya, enceh yang terdapat di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri ini bukan sembarang enceh. Enceh ini dahulu pada zaman Sultan Agung digunakan untuk berwudhu, dan merupakan cinderamata dari kerajaan-kerajaan sahabat Sultan Agung. Enceh yang dahulunya digunakan sebagai tempat wudhu Sultan Agung dan keluarganya tersebut kemudian diboyong ke Makam Raja-Raja Mataram Imogiri setelah Sultan Agung mangkat, karena enceh tersebut merupakan salah satu kesayangan Sultan Agung. Adapun barang-barang yang ikut diboyong ke makam Imogiri setelah Sultan Agung mangkat yaitu genthong/enceh, cincin yang terbuat dari tongkat Sultan Agung, dan daun tujuh rupa (daun yang digunakan sebagai ramuan wedhang uwuh minuman khas Imogiri). Enceh yang diperoleh Sultan Agung tersebut berjumlah 4 buah, masing-masing diperoleh dari 4 kerajaan berbeda. Hubungan kerajaan Mataram tidak hanya terbatas di dalam bumi nusantara saja, namun hubungan kerjasama itu terjalin sampai ke luar negeri yaitu ke Thailand dan Turki yang jaraknya sangat jauh. 

Enceh yang tersimpan di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri merupakan benda pusaka yang dianggap memiliki tuah karena memiliki sejarah yang amat panjang hingga bisa sampai ke Makam Raja-Raja Mataram Imogiri sampai sekarang. Pada zaman dahulu upacara tradisi nguras enceh hanya dilakukan oleh keluarga kerajaan saja, sehingga tidak sembarangan setiap orang boleh meminumnya. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa munculnya kepercayaan terhadap air enceh bermula dari keluarga keraton yang meminum air tersebut untuk menyembuhkan penyakit.

Dalam perkembangannya wujud dari pengabdian dan penghormatan kepada Sultan Agung menjadi sebuah upacara tradisi yang dilaksanakan oleh abdi dalem dan masyarakat Imogiri setiap tahunnya, yaitu setiap  hari Selasa atau Jum’at Kliwon yang ada di bulan Sura. Upacara tradisi nguras enceh di Makam raja-raja Imogiri merupakan wujud dari sebuah kepercayaan masyarakat atau wujud dari perilaku religius masyarakat terhadap rajanya yang dianggap mampu melindungi rakyatnya walaupun raja itu telah mangkat.

Dalam upacara tradisi nguras enceh ini, para pelaku upacara tradisi tersebut mempercayai bahwa di dalam air enceh terdapat kekuatan magis yang dipercaya dapat memberikan suatu kekuatan untuk menghindarkan diri dari segala gangguan dan  memberikan berkah bagi kehidupan mereka. Meskipun dalam upacara tradisi nguras enceh para pelaku mempercayai adanya kekuatan magis yang terkandung dalam air itu, namun sepenuhnya  tidak menganggap air itu sebagai kekuatan tertinggi. Air enceh itu dianggap hanya sebagai perantara Tuhan untuk memberikan pertolongan kepada umatnya. Hal ini dapat dilihat bahwa dalam prosesi upacara tradisi nguras enceh terdapat acara tahlil dan doa bersama untuk baik sebelum dan sesudah upacara tradisi nguras enceh dimulai, untuk mendoakan para arwah leluhur yang disemayamkan di Makam Raja-Raja Mataram Imogiri.

Prosesi Nguras Enceh dimulai sekitar pukul 09.00 dengan kenduri bersama, yang dipimpin oleh sesepuh juru kunci Puralaya. Usai kenduri dan selamatan dilanjutkan penyucian 4 enceh yaitu Nyai Danumurti, Kyai Danumaya, Kyai Mendung, Kyai Siyem. Usai penyucian dilanjutkan dengan pengisian enceh. Luberan air dari enceh diperebutkan pengunjung yang dipercaya oleh mereka konon mempunyai khasiat tertentu.

 

  • Nyadran Agung

Nyadran berasal dari bahasa Sanskerta sraddha yang artinya keyakinan. Nyadran adalah suatu rangkaian budaya yang berupa pembersihan makam leluhur, tabur bunga, tahlil/ doa bersama dan puncaknya berupa kenduri. Nyadran sendiri menjadi akrab di lingkungan masyarakat Kabupaten Bantul sebagai kegiatan yang rutin dilakukan pada Bulan Ruwah atau Sya'ban sebelum Bulan Suci Ramadan tiba.

Sudah 2 tahun ini di Kapanewon Imogiri diadakan event Nyadran Agung & Pasar Nyadran yang diselenggarakan selama tiga hari, bertempat di Halaman Taman Kuliner ( eks pasar Imogiri lama ). Kegiatan ini disebut Nyadran Agung karena ada empat titik poros yang tidak dapat dilepaskan kesatuannya meski masing masing memiliki sejarah dan nilai kebatinannya. Empat titik poros itu  yang pertama adalah makam Sunan Cirebon di Girilaya, kedua makam Seniman dan Budayawan di Girisapto, ketiga Pajimatan Imogiri makam Sultan Agung dan raja raja Mataram Islam serta yang terakhir makam Banyusumurup tempat Pangeran Pekik dimakamkan.

Terdapat beberapa rangkaian acara dalam event ini yaitu dengan diisi oleh penampilan atraksi kesenian oleh warga Imogiri seperti Hadroh, Gejog Lesung dan Jathilan. Selain itu, di event ini menyediakan berbagai stand yang menjual produk-produk UMKM yang berasal dari 8 Kalurahan se-Kapanewon Imogiri. Event yang telah berlangsung selama 3 hari tersebut ditutup dengan kegiatan doa bersama dengan mengenakan busana adat Jawa.

 

  • Upacara Merti Dusun

Merti dusun atau yang sering disebut majemukan, merupakan bagian dari perwujudan rasa syukur atas hasil panen warga. Upacara merti dusun seringkali juga terkait dengan ritual penghormatan kepada leluhur (nenek moyang), sehingga menghadirkan berbagai ritual simbolik terkait dengan tokoh dan riwayat yang diyakini menjadi cikal bakal keberadaannya sebagai pejuang dan babat alas dusun. Semuanya dilakukan dengan tetap memanjatkan doa dan permohonan kepada Yang Maha Kuasa demi keselamatan, ketentraman, kesejahteraan dan keselarasan hidup seluruh warga dusun. Silaturahmi, kekeluargaan, guyub, rukun, gotong royong, kebersamaan, keakraban, tepa selira, dan harmonis adalah sebagian dari sederetan kosakata yang  tepat untuk menggambarkan bagaimana suasana yang terpancar dari berlangsungnya tradisi merti dusun yang dilaksanakan di seluruh dusun yang ada di Kapanewon Imogiri. Terdapat 72 dusun di Kapanewon Imogiri yang masing-masing melaksanakan merti dusun sesuai jadwal yang disepakati para sesepuh dan tokoh masyarakat setempat. Merti dusun ini dilaksanakan setiap 2 tahun sekali.

Biasanya kegiatan Merti Dusun diawali dengan ziarah dan doa bersama di makam leluhur, kemudian mengambil air dari mata air yang ada di wilayah setempat sebagai wujud agar dusun tetap lestari. Acara merti dusun juga dimeriahkan dengan penampilan kesenian tradisional, seperti hadroh, jathilan, karawitan dan pentas ketoprak  Sebagai puncak acara, diadakan kenduri agung dan kirab gunungan hasil bumi, yang diikuti dari berbagai kalangan mulai dari anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua. Ada berbagai macam bentuk kreasi gunungan, salah satunya adalah gunungan hasil bumi. Setelah acara kirab gunungan, biasanya rangkaian acara merti dusun ditutup dengan pentas wayang kulit semalam suntuk.